Friday, November 18, 2011

Anak kampung gegar budaya! e.1

Hei..saya cuma ingin bercerita tentang gegar budaya atau Culture shock dalam bahasa bule nya. Para pembaca mungkin sering mendengar, tapi sedikit yang pernah mengalami. Kebetulan saya pernah mengalaminya dan ingin berbagi pengalaman dengan para pembaca sekalian.

Agustus tahun 2004. Saya ikut program pertukaran pelajar ke Amerika Serikat. Alhamdulillah yah. Di Amerika Serikat saya tinggal dengan keluarga angkat (host family), di Lawrence KS. Elbayoumy Family. Bapak dan Ibu keduanya asli Mesir. Tapi keduanya sudah menetap lama dan menjadi warga negara Amerika Serikat.

Sebelum bertemu keluarga Elbayoumy, saya tinggal dengan keluarga Wayne Wilmer. Seorang duda, Afro American yang bekerja sebagai perawat. Saya sempat tanya kenapa dia berpisah dengan istrinya, alasannya, karena perempuan itu ribet, lebih baik hidup sendiri dari pada dengan istri. Agak aneh sih, tapi tidak ada indikasi juga kalau dia gay
Perjanjian awal, saya memang tinggal sementara dengan Mr Wilmer, sampai dapat keluarga yang mau menampung saya selama sebelas bulan masa program saya di Amerika. Selain saya, dia juga mengambil ada pertukaran dari Jerman. Namanya Paul. Tapi Paul akan stay sebelas bulan dengan dia, beda dengan saya. 

Di Kansas saya sekolah di Lawrence High School. Tidak begitu jauh dari rumah keluarga angkat saya. Setiap harinya saya di antar jemput. Terkadang oleh Ayah, kadang oleh Ibu. Tergantung siapa yang sempat jemput atau antar. Well, berasa sangat dimanjakan, karena dari TK saya tidak pernah di antar jemput, apalagi selama di Pesantren, semuanya serba mandiri dan sekolah juga satu lingkungan dengan asrama.

Awalnya semua terasa biasa saja, walaupun pada awal sebelum berangkat saya dan teman-teman yang berangkat ke sana sudah dibekali dengan berbagai cerita dan pengalaman para senior tentang bagaimana kehidupan di Amerika Serikat. Bagaimana culture shock pasti bakal kita alami. Tapi saya belum merasakan sampai saya mulai sekolah di Lawrence High School.

Benar saja, apa yang telah dibekali kepada kami.  Benar apa yang kita sering kita tonton dalam film-film hollywood tentang kehidupan Amerika Serikat. "United States is a free country, man". Begitu kata Matt salah satu temen kelas saya. Amerika Serikat negara yang memberi kebebasan bagi setiap individunya mengekspresikan emosinya, selama tidak mengganggu orang lain dan tidak ada kekerasan fisik, rata-rata masih dianggap wajar.

Hari pertama sekolah, pertama kali yang ditemui adalah kepala sekolah. Kepala sekolah ini aneh, tidak seperti kebanyakan di Indonesia yang berpakaian rapih dan necis. Yah walaupun tidak ada parameter yang pasti dalam kata rapih dan necis. Tapi  mungkin pembaca tau bagaimana yang saya maksud. Kepala sekolah saya seorang ibuk-ibuk yang dandanannya norak. Berkulit hitam, tapi rambutnya disemir putih. Persis seperti uban. Bulu mata lentik dan diextend. Kuku sepuluh jari tangannya semuanya panjang, mungkin masing-masingnya 10 cm. Pakaiannya serba nge-press, pakai high heels dan rok sepuluh senti di atas lutut.

Enaknya sekolah di Amerika Serikat, kita bebas memilih pelajaran yang kita suka, sesuai dengan minat dan bakat. Tapi biasanya ada pelajaran wajib yang mesti diambil, seperti math, US History, and English. Ini juga tidak sama di setiap sekolah, masing-masing sekolah punya kebijakan masing-masing. Berhubung saya katrok dan ga ngerti apa-apa, sudah saja saya memilih pelajaran sesuka hati. Pertama, saya bilang, "I don't wanna take math class." Berhubung saya student exchange jadinya dibolehkan. Selain itu saya ambil Lifetime sport, photography, chemistry, US History, and English. Semunya memang pelajaran gampang dan saya sengaja, ngapain susah karena sebenarnya misi ke sini adalah untuk bergaul, bukan jadi peneliti atau penstudi.

Hari pertama sekolah, saya diberi first friend. Semacam guide, yang memandu saya sampai saya terbiasa dengan aturan dan keadaan di Lawrence High. Mungkin supaya saya tidak nyasar juga nyari kelas dan makan siang. Atau supaya saya tidak kesepian? Mungkin juga yah. Namanya Knox. Asalnya dari Tonga. Salah satu negara kecil di Samudera Pasifik. Badannya gede, segede kingkong, tingginya nyaris 190 cm. Sedikit gendut, tapi memang dasarnya orang pasifik gede-gede, saya juga bingung kok ada yah orang segede gini. Pas salaman, dia mengulurkan tangan kiri. Ternyata kebanyakan di negara-negara Pasifik orang berasalaman pake tangan kiri, bukan seperti kita yang pakai tangan kanan, awkward, akhirnya saya mengulurkan tangan kiri juga yang tadinya sudah sempat mengulurkan tangan kanan. Katanya kalau di sana, yang begitu sudah biasa, kebanyakan American pakai tangan kanan, tapi sebagian ada juga yang pakai tangan kiri.

Nggak hanya sebagai teman, Knox, juga menawarkan diri jadi bodyguard saya. Berhubung saya sangat kecil, mungkin dia khawatir dengan keselamatan dan kelangsungan hidup selama sekolah di sana. Dengan senang hati saya menerima penawaran dirinya. Body guard gratis, kapan lagi coba?

Tuesday, November 1, 2011

Sumpah Pemuda-Janji Kita?

Groningen, 1 November 2011
Oleh: Michelle Ayu Chinta Kristy

Selamat datang November 2011! Mungkin note ini akan dirasa terlambat ketika saya beri judul Sumpah Pemuda Indonesia, karena perayaan Sumpah Pemuda dirayakan pada tanggal 28 Oktober yang lalu. Namun akan lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Tulisan ini murni pemikiran saya atas refleksi hidup saya dan bagaimana saya memandang tentang negara saya ketika berada di kota kecil di negara yang dulu menjajah negara Indonesia selama lebih kurang 350 tahun. Negara yang membuat para pemuda di negara saya mengkumandangkan yang mana selanjutnya kita sebut SUMPAH PEMUDA.

Saat ini saya berusia 24 tahun, memang usia yang masih dini dari segi pengalaman hidup, namun sudah cukup matang untuk dapat mengungkapkan pandangan mengenai negara Indonesia, khususnya pada note ini: bagaimana Indonesia, pemuda, dan janjinya.

Merupakan sebuah fakta bahwa semakin sedikit pemuda yang memikirkan bangsa sedemikian dalam sebagimana pemuda pada tahun 1928 yang sedang berperang demi menggenggam harga kemerdekaan. Namun hal ini merupakan sesuatu yang wajar bagi saya, terlebih kondisi sudah berubah dan tujuan yang akan dicapai pemudapun sudah berubah. Kondisi tahun 1928 dan 2011 memang tidak bisa dibandingkan.

Terlepas dari itu, pada tepatnya perayaan sumpah pemuda yang lalu, saya juga melihat berbagai notes yang mana mengungkapkan kekecewaan tentang janji pemuda saat ini yang mana diekspresikan bahwa sumpah pemuda yang dulu begitu sakral, saat ini dinilai hanya dipandang sebagai hari nasional belaka. Secara jujur saya kecewa juga dengan notes ini. Ungkapan kekecewaan yang berlebihan menurut saya. Bukan berarti saya apatis dengan makna sumpah pemuda, tapi sebaliknya, karena saya peduli dan ingin dengan menggunakan cara positif untuk membuat rekan-rekan muda sadar bagaimana janji pemuda masa kini untuk Indonesia diungkapkan.

Terkadang saya juga berpikir, sejak 1928 sampai sekarang, sudah ada berapa siklus pemuda yang berputar. Sudah ada berapa anak bangsa pula yang mengenyam banyak pengalaman atau mungkin bersekolah di luar negeri (dalam konteks dengan pengalaman saya saat ini). Berapa banyak pemuda Indonesia yang sudah menelan berbagai prestasi dunia. Namun pertanyaan klasik yang muncul, bagaimana bisa pemuda yang pintar dan berpengalaman (bayangkan ada berapa ratus bahkan ribu pemuda-pemudi Indonesia yang mengenyam pendidikan di berbagai negara di dunia setiap tahunnya) ini belum mampu membuat bangsa yang diidam-idamkan menjadi terwujud. Bagaimana bisa pemuda belum dapat melakukan pemerataan kesejahteraan dan kualiatas kehidupan di Indonesia secara merata. Saya tidak bilang pemuda gagal, karena sudah ada banyak kemajuan di bangsa kita, namu hanya saja belum berhasil sebagaimana yang diharapkan.

Masalah utama dan pertama sebetulnya adalah pemerataan kesejahteraan dan informasi yang membuat tingkat laju perkembangan hanya berputar pada lingkaran yang sama atau melebar tidak jauh dari pusat lingkaran. Kesenjangan sosial juga masalah utama yang ada di kalangan pemuda Indonesia. Rasanya harus berdarah-darah bagi seorang pemuda yang tidak berada pada pusat lingkaran yang saya maksud di atas untuk berjuang dan (dalam konteks saya saat ini) mengenyam pendidikan di luar negeri. Namun, di perspektif mata yang lain, hal demikian bukanlah hal yang sulit bagi beberapa pemuda yang berada dalam atau dekat dengan lingkaran yang saya tulis di atas. Lepas dari itu semua, saya tidak mau mendiskusikan mengenai lingkaran ini lebih lanjut - di luar konteks tulisan saya ini.

Saya jujur bukan merupakan pemuda yang suka dengan demo dan teriakan keras kepada beberapa elite politik yang sedang beroperasi di negara kita ini, saya tidak suka dengan cara ini, bukan berarti tidak setuju. Dalam opini saya, cara tersebut sama sekali tidak elegan. Menurut saya teriakan mencaci makin sistem dan para elite politik adalah hal omong kosong, nasionalisme terlalu cetek untuk diungkapkan dengan cara tidak elegan itu. Walaupun saya akui, pergolakan politik secara besar-besaran pada tahun 1998 memang terjadi karena peran pemuda yang secara massive membuat demonstrasi besar-besaran serta menduduki gedung MPR dan DPR (ini salah satu jawaban lain dari sumpah pemuda bangsa kita di tahun 1998). Namun saya katakan tidak elegan ketika hal ini dilakukan berkali-kali dalam lingkup yang lebih kecil dan masa yang tidak begitu banyak. Sudahlah, jadikan itu sejarah dan temukan cara elegan lain untuk melakukan perubahan bangsa yang lebih baik lagi ( bangsa kita sudah berubah menjadi lebih baik, hanya belum yang sesuai yang diidam-idamkan).

Hal sederhana dan realistis lebih menjadi sebuah opsi untuk saya. Salah satu contoh bentuk aktivitas yang mana sangat saya berikan apresiasi yang setinggi-tingginya adalah program Indonesia Mengajar. Program ini adalah program cerdas yang merupakan bentuk nyata dari sumpah pemuda Indonesia saat ini. Cara lain untuk mengungkapkan janji pemuda secara positif adalah belajar bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan. Contoh nyata adalah pelajar dan belajar. Bagaimana segala tindakan positif kita dapat memberikan pengaruh positif kepada banyak orang, dimulai dari orang-orang yang berada di sekeliling kita. Keberlanjutan merupakan elemen lanjutan dari tindakan positif sederhana dan realistis. Dengan elemen ini, energi positif yang membawa pada hasil yang lebih baik dan besar dapat dicapai.

Tanpa disadari banya cara-cara yang bisa ditempuh untuk mengungkapkan janji pemuda Indonesia di era yang baru ini. Pemuda merupakan sosok dan sumber yang kuat dalam melakukan perubahan, karena optimisme pemudalah apa yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Mari pemuda Indonesia, jangan menjadi tong kosong nyaring bunyinya, tapi jadilah padi yang merunduk karena berisi. Indonesia butuh kecerdasan, optimisme, dan energi positif dari pemuda-pemudinya untuk mendobrak sistem yang dirasa masih kurang efektif di negara kita untuk mewujudkan Indonesia yang diidam-idamkan.

Indonesia adalah bangsa yang besar di dunia. Bangsa yang dunia seharusnya lebih tau lebih tentang kita. Sudah saatnya Indonesia menggigit dunia dan membuat dunia takut dengan Indonesia. Mari para pemuda-pemudi, ini adalah waktu yang tepat untuk kita melakukan sesuatu yang positif di bidang kita masing-masing dengan energi positif kita, kita bersama mengigit dunia! :-)

Salam hangat dari Belanda,
Michelle