Sunday, June 27, 2010

Ayo perang lagi biar dunia ini damai!!

Pendahuluan
Semua umat manusia pada dasarnya memang sangat tidak menginginkan terjadinya perang. Hal ini tentu dikarenakan oleh dampak yang negatif dan destruktif dari perang tersebut, baik bagi manusia atau pun lingkungan. Seperti banyaknya korban dari masyarakat sipil, kehancuran ekonomi dan infrastruktur negara, hingga degradasi lingkungan yang pasti akan berdampak juga terhadap kehidupan manusia. Namun, di sisi lain, dalam sistem internasional yang anarkis, perang merupakan suatu jalan dalam menciptakan suatu perdamaian dan menentukan hidup atau matinya suatu bangsa (Tzu 2008, h.1).

Namun ada beberapa pandangan yang berbeda dalam perspektif mainstream Hubungan Internasional terkait upaya untuk mencapai peradamian dan sistem internasional. Kaum realist memiliki pandangan yang pesimis terhadap sifat dasar manusia (Jackson & Sorensen 1999, h. 88), di sisi lain, kaum liberalist melihat bahwa perang merupakan suatu anomali dari sifat dasar manusia yang menginginkan adanya interaksi dan kerjasama yang baik di antara mereka. 

Dalam fenomena hubungan internasional, kedua pandangan tersebut, terbukti dapat digunakan dalam mewujudkan perdamaian. Dalam sejarah, beberapa perang seperti pada perang dunia dua atau perang dingin. Sebaliknya, perspektif liberalist dengan teori interdependece dan democratic peace theory-nya, juga telah berhasil membuktikan bahwa perdamaian tidak hanya dapat dicapai dengan suatu kekerasan destruktif, tapi juga melalui kerjasama dan kesamaan ideologi antar negara yang menciptakan kondisi saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya.

Dalam esai ini, penulis akan menitik beratakan upaya pencapaian damai melalui perang seperti yang diyakini oleh kaum realist. Melihat relevansi yang kuat. Di sisi lain juga sangat sulit mencari koherensi antara pandangan liberalis terhadap perang dan damai karena pada dasarnya masih dipandang sebagi konstruksi yang dipaksakan untuk mengatur tindak-tanduk negara dalam sistem internasional yang anarkis.  Secara langsung, kaum realis juga menyatakan bahwa pandangan yang kaum idealis akan sifat manusia merupakan suatu yang utopis.

Isi
Ada dua prinsip pandangan yang berbeda mengenai perang sepanjang sejarah manusia. Antara pandangan yang pesimistik dan pandangan yang optimistik. Yaitu antara Realist yang pesimis dan Idealist yang optimis. Idealis yang optimis melihat bahwa manusia memiliki sikap perbaikan terhadap strategi kehidupan mereka yang belajar dari sejarah masa lalu. Mereka merunut kepada pertumbuhan norma-norma, hukum dan institusi yang semuanya akan mengurangi terjadinya kekarasan dalam setiap tindakan politik. Di sisi lain, realist yang pesimis melihat sifat dasar manusia, termasuk tindakan politik manusia, yang tidak pernah mengalami perubahan (Gray 2007, h. 265).

Salah satu pandangan utama kaum realist adalah pesimistik atas sifat dasar manusia, yang pada dasarnya ingin menjadi penguasa, mendominasi pihak lain dan keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya bersifat konfliktual dan pada akhirnya konflik internasional diselesaikan melalui perang (Jackson & Sorensen 1999, h. 88). Keinginan manusia untuk mendominasi manusia lain didasari oleh ketakutannya akan dominasi manusia lain yang nantinya akan mengancam kepentingannya, baik kepentingan akan keamanan maupun kesejahtaraan. Morgenthau (1965, h. 195) berpendapat bahwa ‘...Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atas manusia, dan apa pun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya dengan cara-cara memperoleh, memelihara dan, menunjukkan kekuasaan menentukan teknik tindakan politik’.  Kondisi ini kemudian didukung oleh absennya kedaulatan yang melebihi kedaulatan negara-negara dalam sistem internasional, sehingga tidak ada suatu institusi yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasi interaksi dan tindak-tanduk setiap negara.

Von Clausewitz (2007) melihat perang sebagai ‘continuation of politics by other meaning’, sebagai sebuah instrument yang digukanan untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik, menganggap bahwa perang secara instrinsik merupakan sebuah tindakan yang bersifat politis, sehingga ketika kita ingin memahami suatu peperangan makan kita harus mengerti mengapa para pengambil kebijakan memilih tindakan militer dari pada kebijakan lain untuk mencapai kepentingannya (Levy 2002, h. 350).

Perang merupakan suatu tindakan pencampaian perdamaian yang sangat tradisional dan memang sangat destruktif. Dalam studi hubungan internasional, para pemikir realist mulai melihat fenomena ini semenjak Peloponesian War, sekitar 2.400 tahun yang lalu (Levy 2002, h. 350) yang hingga saat ini masih berlangsung. Kita bisa melihat konflik panjang terjadi tanpa ada penyelesian karena tidak pernah terjadi perang. Konflik Israel dan Palestina seolah tidak pernah berhenti semenjak tahun 1918 ketika masyarakat Yahudi dari Eropa mulai pindah ke tanah Palestina. Konflik yang memang tidak pernah terjadi dalam great war secara terbuka sehingga tidak juga tidak pernah tercipta perdamaian antara kedua negara tersebut. Peristiwa ini secara tidak lansung juga menepis pandangan liberalis yang menyatakan bahwa perdamaian dapat dicapai melalui hukun internasional dan perjanjian antara negara.

Dalam lima abad terakhir, sistem modern dalam hubungan internasional telah menyaksikan rata-rata terjadi satu perang besar pada masing-masing dekadenya, walupun frekuensi telah mengalami penurunan (Levy 2002, h. 351). Namun para pemikir neorealism, tetap melihat bahwa sistem internasional yang anarkis, merupakan suatu kondisi yang sangat memungkinkan terjadinya perang. Sehingga, kemungkinan akan terjadinya great war, masih sangat besar. Kita lihat fenomena krisis Korea Utara dan Korea Selatan, perang terbuka memang terjadi pada tahun 1950-1953 (Kaliwaran 2010) , namun belum dalam skop great war yang mampu melumpuhakan salah satu atau kedua negara seperti yang terjadi pada Perang Dunia kedua. Sehingga kedua negara belum pernah memiliki pakta perdamaian yang mengkibatkan munculnya krisis berkepanjangan yang tidak pernah selesai, karena masih memiliki kapasitas dan kapalitas untuk membangun kembali militernya.

Perang dunia kedua, kita mengetahui kehancuran yang dialami oleh Jerman, Italia, dan Jepang, yang merupakan tiga negara fasis dalam blok poros. Ketiga negara tersebut berhasil dihancurkan oleh Blok sekutu yang terdiri dari Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, dan sekutu lainnya. Bahkan Hiroshima dan Nagasaki hancur akibat bom atom tentara sekutu.

Fenomena perang dan damai terjadi silih berganti. Kembali kepada sifat dasar manusia yang ingin menjadi pengendali bagi yang lainnya, masa damai merupakan suatu masa untuk mempersiapkan diri menghadapi perang selanjutnya. Para penteori konflik secara tradisional mendefinisikan damai sebagai ketiadaan perang (atau mungkin ketiadaan konflik militer) (Levy 2002, h. 351). Pernyataan ini mungkin dapat kita saksikan sendiri dalam fenomena hubungan internasional, ketika masa perang dunia satu berakhir, terjadi masa interbellum menjelang perang dunia kedua dimana negara-negara kalah perang seperti Jerman kembali membangun kapasitas dan kapalitas militernya. Setelah berakhirnya perang dunia dua, negara mengalami masa damai hingga munculnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Tahun 2001, setelah peristiwa 9/11, Amerika Serikat melakukan invasi terhadap Afghanistan, yang dilangsungkan dengan perang terhadap Irak pada tahun 2003. Dan current issues, kembali memanas konflik antara Korea Utara dengan Korea Selatan, dan Israel dan Palestina.

Korea selatan dan Korea Utara kembali memanas terkait isu semenanjung korea, di mana Korea Utara dituduh menyerang kapal perang Korea Selatan di laut kuning pada 26 Maret 2010 silam. Sedangkan Israel dan Palestina terkait dengan isu di wilayah pemukiman Gaza. Isu kemudian berkembang menyulut kemarahan masyarakat global ketika Israel menyerang kapal relawan yang membawa bala bantuan ke Gaza pada senin 31 Juni 2010. Kedua konflik ini memicu ketidakstabilan dan sistem internasional yang anarkis. Tidak adanya institusi yang memeliki kedaulatan untuk mengatur interaksi antar negara menjadikan konflik ini menjadi potensi perang yang mungkin akan terjadi.

Realis membedakan antara status quo dan negara revisionist dan menggunakan kedua perbedaan tersebut untuk mengidentifikasi bagaimana negara terlibat dalam suatu perang. Pertama negara terlibat dalam konflik kepentingan secara langsung dengan pertimbangan yang setidaknya dari salah satu negara bahwa konflik tersebut lebih baik diselesaikan dengan jalan perang dari pada jalan damai. Hal ini seperti yang pernah dilkaukan oleh raja Alexander dan agresi militer yang dilakukan oleh Hitler pada perang dunia kedua dan Saddam Hussein pada perang Irak tahun 1990. Kedua adalah bagi negara yang berupaya mempertahankan keamanannya. Yaitu negara yang lebih cendrung untuk mempertahankan kondisi yang ada dan memperluas pengaruhnya (Levy 2002, h.353).

Perang merupakan upaya untuk mengokupasi suatu negara agar negara tersebut tunduk dan patuh terhadap negara yang mengokupasi (Clausewitz 2007, h. 32) . Kalau tidak, negara tersebut akan kembali muncul negara kekuatan baru. Pada dasarnya ketikat suatu negara telah diokupasi, maka di sanalah perjanjian damai dapat dibuat. Walaunpun banyak memunculkan pemberontakan-pemberontakan kecil. Ketika perjanjian damai telah terbentuk, maka dapat dikatakan bahwa perang sebagai insturment untuk menciptakan perdamaian telah terwujud.

Kesimpulan
Perang memang merupakan suatu hal yang sangat mengerikan dalam kehidupan manusia. Tak terbayangkan betapa banyak penderitaan yang harus ditanggung baik oleh negara maupun rakyat. Perang pada dasarnya ada yang dilegalkan secara hukum atau yang disebtu dengan justwar. Di mana merupakan perang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dengan kapasitas dan kapabilitas militer yang sama. Namun dalam kebanyakan fenomena internasional, perang terjadi cendrung pada negara-negara yang memiliki ketimpangan power.

Hal yang sangat tidak bisa dihindari dalam perang adalah pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil. Masyarakat sipil selalu menjadi salah satu elemen korban dari perang yang seharusnya dilindungi. Masyarakat hanya akan merasa aman apabila telah berada dalam suatu institusi organasisai politik yang di sebut dengan negara tersebut. Dan negara berkewajiban untuk melindungi rakyatnya. sehingga dengan melegalisasikan perang, suatu sama saja dengan membunuh masyarakatnya sendiri.

Akan tetapi suatu pertimbangan realis mengenai perang yang mampu menciptakan suatu perdamaian merupakan suatu fenomena nyata yang terjadi berulang-ulang. Perang dan damai seakan dua musim yang terjadi secara bergantian atau cycle dalam waktu yang tidak menentu. Mungkin kita dapat melihat kembali kepada sejarah, di mana great power terjadi setelah terjadinya perang-perang kecil antara masyarakat internasional. Ketika mereka jenuh akan perang, mereka akan diam.

Seiring dengan masa damai, mereka berusaha kembali membangun militer dan ekonomi mereka untuk mempersiapkan perang selanjutnya. Ketikan terjadi bentrokan antar negara, bentrokan tersebut tidak akan habis hingga adanya suatu perang besar yang dapat melumpuhkan salah satu atau semua pihak yang berperang. Ketika salah satu dari mereka hancur, maka saat itulah masa damai akan kembali tercipta. Begitulah fenomenanya berjalan, over and over again, dalam waktu yang tidak dapat diperdiksikan.

Daftar Referensi
Clausewitz, Von Carl, 2007, On War, trans. Howard, M & Paret, P, Oxford Universtiy Press Inc, New York.
Gray S, Colin, 2007, War, Peace and International Relations: an Introduction to Strategic History, Routledge, New York
Jackson, R & Sorensen, G, 1999, Introduction to International Relations, Oxford University Press inc, New York.
Kawilarang, R, 2010, Perang Korea dimulai, dilihat 30 Mei 2010,

Levy S, Jack, 2002, Peace and War, dalam Carlnaes, W, Risse, T, & Simmons A, Handbook of Internasional Relations, Sage Publications, London.
Machiavelli, N, 2008, Sang Penguasa, trans. Trjaji, N, Selasar Publishing, Surabaya.
Morgenthau, H,J, 1965, Scientific Man Versus Power Politic, Phoenix Books,Chicago
Tzu, S, 2001, Seni Perang, trans. Cleary,T, Erlangga, Jakarta.

Di mana maneh mas bro?

Dekade ini banyak wacana yang muncul tentang bagaimana seharusnya sikap laki-Laki terhadap perempuan. Mempertanyakan status laki-laki yang seharusnya menjadi pelindung perempuan. Wacana tersebut muncul bukan tanpa sebab. Pada dasarnya, wacana tersebut mempertanyakan peran laki-laki sebagai pelindung perempuan. Dari zaman pra sejarah, kita juga telah mempelajari betapa suatu kontsruksi sosial masyarakat menempatkan laki-laki, yang mendominasi nilai-nilai maskulin, berperan sebagai aktor yang melindungi pasangan dan keluarganya. Setiap hari, laki-laki  bertindak sebagai kepala keluarga yang pergi berburu untuk  menafkahi istri dan anaknya di rumah. Sedangkan istri tinggal dirumah  mengurusi rumah, anak, berkebun, dan beternak.

Pada era kontemporer, sebagiaan besar laki-laki yang masih melaksanakan perannya sebagai pelindung bagi perempuan dan anak-anak. Bukan hanya dalam lingkungan  keluarga, tapi juga dalam masyarakat dan negara. Di samping itu, laki-laki juga selalu berdiri di depan dalam menghadapi setiap masalah bagi keluarganya. Melindungi dari segala macam kemungkinan yang dapat  menimpa keluarganya. Serta memberikan tempat perlindungan atau rumah yang layak  untuk ditinggali.

Pada tatanan masyarakat dan negara, laki-laki muncul sebagai pemimpin di berbagai macam instansi pemerintahan dan non-pemerintahan. Mengakomodasi dan melindungi kepentingan-kepentingan dari komunitas teretentu. Akan tetapi, kaum laki-laki sepertinya tidak sepenuhnya menjalankan peran tersebut. Banyak distorsi-distori peran yang justru sangat bertentangan dengan gagasan laki-laki sebagai pelindung.  Bahkan sebaliknya, laki-laki merupakan aktor yang mengancam keamanan.

Pertama, mungkin kita perlu meninjau dari mana konstruksi laki-laki sebagai  pelindung tersebut muncul. Dari dulu, dunia telah didominasi oleh sistem patriarki yang senantiasa memberikan keutamaan bagi kaum laiki-laki. Patriarki mengordinatkan laki-laki dan mensubordinatkan kaum perempuan. Patriarki menciptakan konstruksi di mana laki-laki memiliki dominasi atas perempuan. Laki-laki dianggap sebagai subjek yang "menentukan" sesuatu. Sebaliknya, perempuan dianggap sebagai objek yang "ditentukan". Akibatnya, muncul dominasi dan diskriminasi dalam sistem politik, sosial, dan budaya terhadap kaum perempuan. Perempuan tidak mendapatkan hak-hak politik sebagaimana laki-laki.

Sering dengan ketidakadilan tersebut, gerakan kaum perempuan kemudian muncul dan melawan hegemoni konstruksi patriarki. Melalui gerakan dan pemikiran feminisme, kaum perempuan berjuang untuk menciptakan suatu kesetaraan sex antara laki-laki dan perempuan dan berupaya mendekonstruksi sistem patriarki. Seperti tulisan Mary Wollstoncraft; vindication of the rigt of woman (1792), mengenai kesetaraan moral sosial dan gender. The equality between the sexes or equal right.

Sistem patriarki menempatkan laki-laki sebagai aktor yang superior dan perempuan pada kondisi inferior. Kondisi ini secara inflisit memaksa para laki-laki menjadi pelindung perempuan. Walaupun pada kenyataannya, tidak semua perempuan membutuhkan laki-laki sebagai pelindung mereka. Sistem patriarki seolah-olah mentakdirkan peran perempuan yang terbatas pada wilayah domestik saja, mengurus suami dan anak di rumah. Sedangkan secara  politik, ekonomi, dan sosialnya tergantung pada laki-laki.

Pertanyaannya; apakah semua laki-laki mampu bertindak sebagai pelindung? Apakah semua laki-laki mampu mempertanggungjawabkan peran superioritas yang dikontruksikan kepadanya? Sepertinya perlu untuk meninjau kembali pernyataan tersebu berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dalam sosial masyarakat pada saat ini.

Dalam tataran rumah tangga, peran utama laki-laki adalah sebagai pemberi nafkah, kepala rumah tangga, pendidik. Di samping itu, laki-laki juga berperan sebagai pelindung bagi keluarganya dari berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik, moril, atau pun materil. Namun, tidak semua laki-laki yang mampu menjalankan peran tersebut. Karena kenyataannya, laki-laki juga banyak memiliki keterbatasan. Bahkan berada pada suatu keadaan yang membutuhkan perlindungan dari istri dan anak-anaknya.

Secara materil, ada kalanya seorang istri memiliki penghasilan lebih daripada suaminya. Ada saat, di mana seorang suami harus duduk di rumah memasak dan mengasuh anaknya. Ada keadaan yang memaksa dia tidak bisa lagi memberi nafkah dan perlindungan bagi anak dan istrinya. Mungkin itu karena sakit atau pun karena kehilangan pekerjaan. Hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam mengkaji superioritas seorang laki-laki dalam rumah tangga. Di sisi lain, ada juga laki-laki yang secara sengaja keluar dari perannya sebagai pelindung. Dengan melakukuan berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga, baik terhadap istri atau pun anak-anaknya.

Sistem patriarki yang telah menghegemoni seakan memang tidak pernah kehilangan powernya. Laki-laki masih menjadi aktor yang mampu mendominasi perempuan. Dalam masyarakat modern, ketika telah tercipta kesetaraan politik dan sosial antata laki-laki dan perempuan, laki-laki masih dituntut untuk menjadi pelindung. Bahkan pada tataran yang lebih luas. Sebagai pelindung komunitas di mana dia berada. Seperti yang kita lihat, sistem keamanan daerah yang masih didominasi oleh para lelaki. Aparat keamanan negara dan birokrat pemerintahan yang juga masih dikusai laki-laki.

Namun tidak bisa ditampikkan juga, bahwa laki-laki tidak dapat melaksanakan tuntutan konstruksi tersebut seutuhnya. Bahkan dengan kesengajaan, laki-laki mengingkari perannya sebagai pelindung. Banyak pelanggaran moral dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap perempuan yang seharusnya mereka lindungi. Berbagai prilaku kriminal seperti pemerkosaan, perdagangan perempuan, dan pelacuran, merupakan beberapa fakta yang membuktikan bahwa laki-laki itu juga tidak bisa menjadi pelindung. Bahkan sebaliknya, menjadi sumber ancaman bagi keamanan perempuan. Berbagai kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur, banyaknya anak-anak yang mengemis dan terlantar dijalanan, semakin memperkuat dugaan tersebut.

Pada tingkat negara, seorang laki-laki yang menjadi  presiden seharusnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kepentingan nasional. Kebijakan yang mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakatknya. Serta memberikan rasa aman dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Namun dalam sistem internasional yang anarkis, adakalanya keputusan dari seorang presiden malah menjadi ancaman bagi negara lain. Ketika seorang presiden memutuskan untuk berperang dengan negara lain, yang menjadi korban justru masyarakat sipil yang tidak berdosa.

Hal yang lebih tidak manusiawi lagi, banyaknya pemerkosaan yang dilakukan oleh para kombatan yang berada di negara yang sedang di invasi atau diserang. Semakin banyak perang, semakin banyak terjadi pelanggaran HAM, semakin banyak anak-anak yang menjadi yatim, semakin banyak anak-anak yang lahir tanpa pernah tahu siapa bapaknya. Apakah ini masih bisa dikatakan sebagai suatu perlindungan? Bagaimana dengan tak-tik perang yang dengan sengaja memperkosa perempuan-perempuan daerah yang diserang untuk mencapai kemenangan. Bagaimana status Jugan Lunfu sebagai budak seks Jepang pada masa perang dunia 2?