Sunday, June 27, 2010

Di mana maneh mas bro?

Dekade ini banyak wacana yang muncul tentang bagaimana seharusnya sikap laki-Laki terhadap perempuan. Mempertanyakan status laki-laki yang seharusnya menjadi pelindung perempuan. Wacana tersebut muncul bukan tanpa sebab. Pada dasarnya, wacana tersebut mempertanyakan peran laki-laki sebagai pelindung perempuan. Dari zaman pra sejarah, kita juga telah mempelajari betapa suatu kontsruksi sosial masyarakat menempatkan laki-laki, yang mendominasi nilai-nilai maskulin, berperan sebagai aktor yang melindungi pasangan dan keluarganya. Setiap hari, laki-laki  bertindak sebagai kepala keluarga yang pergi berburu untuk  menafkahi istri dan anaknya di rumah. Sedangkan istri tinggal dirumah  mengurusi rumah, anak, berkebun, dan beternak.

Pada era kontemporer, sebagiaan besar laki-laki yang masih melaksanakan perannya sebagai pelindung bagi perempuan dan anak-anak. Bukan hanya dalam lingkungan  keluarga, tapi juga dalam masyarakat dan negara. Di samping itu, laki-laki juga selalu berdiri di depan dalam menghadapi setiap masalah bagi keluarganya. Melindungi dari segala macam kemungkinan yang dapat  menimpa keluarganya. Serta memberikan tempat perlindungan atau rumah yang layak  untuk ditinggali.

Pada tatanan masyarakat dan negara, laki-laki muncul sebagai pemimpin di berbagai macam instansi pemerintahan dan non-pemerintahan. Mengakomodasi dan melindungi kepentingan-kepentingan dari komunitas teretentu. Akan tetapi, kaum laki-laki sepertinya tidak sepenuhnya menjalankan peran tersebut. Banyak distorsi-distori peran yang justru sangat bertentangan dengan gagasan laki-laki sebagai pelindung.  Bahkan sebaliknya, laki-laki merupakan aktor yang mengancam keamanan.

Pertama, mungkin kita perlu meninjau dari mana konstruksi laki-laki sebagai  pelindung tersebut muncul. Dari dulu, dunia telah didominasi oleh sistem patriarki yang senantiasa memberikan keutamaan bagi kaum laiki-laki. Patriarki mengordinatkan laki-laki dan mensubordinatkan kaum perempuan. Patriarki menciptakan konstruksi di mana laki-laki memiliki dominasi atas perempuan. Laki-laki dianggap sebagai subjek yang "menentukan" sesuatu. Sebaliknya, perempuan dianggap sebagai objek yang "ditentukan". Akibatnya, muncul dominasi dan diskriminasi dalam sistem politik, sosial, dan budaya terhadap kaum perempuan. Perempuan tidak mendapatkan hak-hak politik sebagaimana laki-laki.

Sering dengan ketidakadilan tersebut, gerakan kaum perempuan kemudian muncul dan melawan hegemoni konstruksi patriarki. Melalui gerakan dan pemikiran feminisme, kaum perempuan berjuang untuk menciptakan suatu kesetaraan sex antara laki-laki dan perempuan dan berupaya mendekonstruksi sistem patriarki. Seperti tulisan Mary Wollstoncraft; vindication of the rigt of woman (1792), mengenai kesetaraan moral sosial dan gender. The equality between the sexes or equal right.

Sistem patriarki menempatkan laki-laki sebagai aktor yang superior dan perempuan pada kondisi inferior. Kondisi ini secara inflisit memaksa para laki-laki menjadi pelindung perempuan. Walaupun pada kenyataannya, tidak semua perempuan membutuhkan laki-laki sebagai pelindung mereka. Sistem patriarki seolah-olah mentakdirkan peran perempuan yang terbatas pada wilayah domestik saja, mengurus suami dan anak di rumah. Sedangkan secara  politik, ekonomi, dan sosialnya tergantung pada laki-laki.

Pertanyaannya; apakah semua laki-laki mampu bertindak sebagai pelindung? Apakah semua laki-laki mampu mempertanggungjawabkan peran superioritas yang dikontruksikan kepadanya? Sepertinya perlu untuk meninjau kembali pernyataan tersebu berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dalam sosial masyarakat pada saat ini.

Dalam tataran rumah tangga, peran utama laki-laki adalah sebagai pemberi nafkah, kepala rumah tangga, pendidik. Di samping itu, laki-laki juga berperan sebagai pelindung bagi keluarganya dari berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik, moril, atau pun materil. Namun, tidak semua laki-laki yang mampu menjalankan peran tersebut. Karena kenyataannya, laki-laki juga banyak memiliki keterbatasan. Bahkan berada pada suatu keadaan yang membutuhkan perlindungan dari istri dan anak-anaknya.

Secara materil, ada kalanya seorang istri memiliki penghasilan lebih daripada suaminya. Ada saat, di mana seorang suami harus duduk di rumah memasak dan mengasuh anaknya. Ada keadaan yang memaksa dia tidak bisa lagi memberi nafkah dan perlindungan bagi anak dan istrinya. Mungkin itu karena sakit atau pun karena kehilangan pekerjaan. Hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam mengkaji superioritas seorang laki-laki dalam rumah tangga. Di sisi lain, ada juga laki-laki yang secara sengaja keluar dari perannya sebagai pelindung. Dengan melakukuan berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga, baik terhadap istri atau pun anak-anaknya.

Sistem patriarki yang telah menghegemoni seakan memang tidak pernah kehilangan powernya. Laki-laki masih menjadi aktor yang mampu mendominasi perempuan. Dalam masyarakat modern, ketika telah tercipta kesetaraan politik dan sosial antata laki-laki dan perempuan, laki-laki masih dituntut untuk menjadi pelindung. Bahkan pada tataran yang lebih luas. Sebagai pelindung komunitas di mana dia berada. Seperti yang kita lihat, sistem keamanan daerah yang masih didominasi oleh para lelaki. Aparat keamanan negara dan birokrat pemerintahan yang juga masih dikusai laki-laki.

Namun tidak bisa ditampikkan juga, bahwa laki-laki tidak dapat melaksanakan tuntutan konstruksi tersebut seutuhnya. Bahkan dengan kesengajaan, laki-laki mengingkari perannya sebagai pelindung. Banyak pelanggaran moral dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap perempuan yang seharusnya mereka lindungi. Berbagai prilaku kriminal seperti pemerkosaan, perdagangan perempuan, dan pelacuran, merupakan beberapa fakta yang membuktikan bahwa laki-laki itu juga tidak bisa menjadi pelindung. Bahkan sebaliknya, menjadi sumber ancaman bagi keamanan perempuan. Berbagai kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur, banyaknya anak-anak yang mengemis dan terlantar dijalanan, semakin memperkuat dugaan tersebut.

Pada tingkat negara, seorang laki-laki yang menjadi  presiden seharusnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kepentingan nasional. Kebijakan yang mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakatknya. Serta memberikan rasa aman dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Namun dalam sistem internasional yang anarkis, adakalanya keputusan dari seorang presiden malah menjadi ancaman bagi negara lain. Ketika seorang presiden memutuskan untuk berperang dengan negara lain, yang menjadi korban justru masyarakat sipil yang tidak berdosa.

Hal yang lebih tidak manusiawi lagi, banyaknya pemerkosaan yang dilakukan oleh para kombatan yang berada di negara yang sedang di invasi atau diserang. Semakin banyak perang, semakin banyak terjadi pelanggaran HAM, semakin banyak anak-anak yang menjadi yatim, semakin banyak anak-anak yang lahir tanpa pernah tahu siapa bapaknya. Apakah ini masih bisa dikatakan sebagai suatu perlindungan? Bagaimana dengan tak-tik perang yang dengan sengaja memperkosa perempuan-perempuan daerah yang diserang untuk mencapai kemenangan. Bagaimana status Jugan Lunfu sebagai budak seks Jepang pada masa perang dunia 2?

No comments:

Post a Comment