Thursday, June 30, 2011

Penjara suci itu disebut pesantren! E.3

Seleksi dimulai jam 08.00 pagi, materi ujiannya berupa Matematika, Pengetahuan Umum, dan Wawancara Kepribadian. Sungguh ciamik sekolah ane yang baru ini. Karena rumah yang sangat jauh dari pesantren, ane dan ayah memutuskan untuk berangkat malam hari. Semoga bisa sampai lebih awal atau minimal tepat waktu. Kebetulan tidak hanya ane berdua sama ayah aja, satu orang tetangga jauh ane juga ikut, mau masuk pesantren yang sama, Zulhamdi namanya, dia juga beserta ayahnya, jadi total kami empat orang. Naik mobil pick up, otomatis desak-desakan di depan.

Di hari seleksi ini juga ane bisa melihat calon rumah ane ini secara dekat, sudah bisa melihat para santri yang lari pontang-panting ke mesjid karena telat sholat zuhur. Melihat ada santri piket yang membersihkan asrama, menyapu ruang dalam, teras, dan merawat seonggok taman kecil di depan asrama. Menyaksikan santri piket yang membawa piring teman-temannya. Mendengar suara mu'azin yang mengumandangkan azan di mesjid, sangat merdu. Ane langsung yakin kalau inilah tempat ane hingga tiga tahun ke dapan. Faktanya ane ekstend jadi 6 tahun. 

Setiap anak pesantren berpikiran kalau merekalah orang yang paling berpahala di muka bumi ini. At least ane dulu merasa begitu. Setiap harinya kita sholat berjamah, tidak pernah lepas. Setiap hari kita mengaji, tadarrusan, setiap hari kita belajar menafsirkan wahyu-wahyu Allah dan Sunnah-sunnah rasul. Kurang apa ibadah kita? Semua yang kita bisa lakukan, telah kita lakukan dengan sempurna (terpaksa). Namun sebenernya kalau ane kasih bocoran, tidak semuanya begitu coy, sebanyak-banyaknya muhammad, setannya juga makin banyak, begitu kata pepatah orang lama.

Yang namanya anak remaja, pasti bandel, nakal, susah diatur. Apalagi anak-anak yang terancam kehilangan masa remajanya yang penuh ceria, senyum dan canda tawa seperti teman-temannya di luar sana. Banyak saja ulah mereka. Bukannya sholat mereka malah ngumpet di kamar mandi, bukannya sholat, malah mereka tidur di genteng. Bahkan suatu hari ane pernah melihat kakak kelas ane yang tidur di gudang. Sungguh bejat. Tidak diawasi? bukan, tapi santri tetep lebih jago berulah dari pada ustazd mereka.

Hei coy, pernah kan kalau ke mesjid, bawa sendal, tiba-tiba pulangnya harus nyeker? sendal ente raib. Apakah fenomena itu juga ada di pesantren? TOTALLY.  Ane kapital tu biar jelas. Bahkan lebih sadis. Hari-hari pertama ane di pesantren, ane heran liat kakak kelas ane kok males banget pake sendal yah. Apa memang karena hidup di pesantren tu sangat keras, sehingga tidak ada yang berani punya sendal? Apa karena memang tidak dikasih duit jajan sama orang tuanya, sehingga tidak mampu beli sendal? atu karena memang bokek terus? Tidak hanya ke mesjid karena takut di colong, tapi juga, ke kamar mandi, ke kantin, ke dapur makan, ke kantor asrama, ke lapangan bola, ke mana saja tempat yang ditujunya selagi masih di dalam pesantren pasti tidak menggunakan sendal. Sepatu? sepatu mereka cuma satu man, dan itu pun semenjak tahun pertama jadi santri, sudah butut, hanya sanggup untuk mengantarnya ke kelas. Tidak bisa lagi dipaksa untuk mengantarnya keliling pesantren, kalau dipaksa, tamat riwatnya. Seiring berjalannya jam, ane menyadari kalau ini adalah akibah kejahatan beranti yang tidak bisa dicari ujung dan pangkalnya.

Masalah sendal, ini cukup unik, para ustazd juga frustrasi dengan masalah ini. Sama seperti kehidupan masyarakat umum sehari-hari, sering kehilangan sendal di mesjid. Di pesantren, pastinya lebih parah, jangan dikata santri, ibuk dapur, kariawan lapangan, ustazd, guru-guru sekolah, pimpinan asrama, kepala sekolah, pimpinan pesantren, hingga pimpinan yayasan pernah mengalami ganas para mafia sendal di pesantren. Domino effects. Kalaun ane kehilangan sendal, ane nyolong sendal lagi di mesjid, sang korban, tentu akan mencari korban kedua, korban kedua akan mencari korban ketiga, terus begitu tidak putus-putus, dan biasanya orang yang keluar terakhir dari mesjid, akan memakai sendal-sendal yang sekiranya tidak lagi bertuan.

Bukan berarti tidak ada upaya untuk menghentikan tindak kriminal ini, sudah banyak sekali. Para santri yang rajin biasanya suka bawa kresek ke mesjid, nyampe di mesjid sendalnya dimasukin ke kantong kresek dan ditarok di bagian belakang ruangan masjid. Ketika ada aturan "tidak ada santri maupun para ustazd yang menarok sendal ke dalam mesjid" otomatis teori ini gagal. Para santri yang punya cukup modal, biasanya bawa gembok, dua tali sendal nya digembok sehingga tampak seperti romeo dan juliet yang dimabuk asmara. Kendalanya apa? santri yang jahil suka membuang sendal-sendal ini ke got terdekat. Sambil berkata "pelit  lu, mampus lu, haiaaaa", teori ini gagal. Beberapa santri berusaha menggalang tenaga, membeli rantai, sekitar sepuluh pasang sendal di rantai dan digembok, sangat kompak, namun nasibnya lebih tragis, santri-santri yang jahil akan melemparnya ke balik pagar tembok tinggi yang seperti replika tembok besar Cina itu sambil berteriak "pulang kau ke asal kauuuu..."

Para ustazd juga tidak kalah berpartisipasi, mereka membuat aturan, dengan membedakan jenis atau warna sendal dari setiap asrama. Tidak berhasil, karena tidak semua santri yang punya duit untuk beli sendal baru. Dengan membuat rak-rak yang berbeda di mesjid untuk setiap asramanya, tidak berhasil juga, karena santri-santri lain yang memiliki solidaritas tinggi bisa saja menghancurkan rak sendal asrama ente karena masalah kecil. Sungguh bar-bar.

Alhasilnya mereka menikmati hari-harinya tanpa sendal, paling bantar pake sendal belang, satu swallow kuning, satu lagi biru itu pun dapat nyolong dari asrama. Keadaan ini, sampai ane angkat kaki dari pesantren ane, masih belum berubah, lebih pelik dari pada masalah korupsi.

Bersambung...
i'll be back soon...

1 comment:

  1. Seruuu Lex. Kalo ada judul episodnya kayak film seri, ini judulnya "Sendal" hahaha

    ReplyDelete